Jumat, 15 Mei 2009

Prolog



Refleksi Untuk Indonesia Muda

Jika agustus tiba, memori kita seakan diajak kembali menyelami kilasan sejarah paling menegangkan dan menentukan dalam Buku Catatan Indonesia. Sejarah yang di dalamnya sarat akan telikungan dan perjuangan yang melelahkan. Demi berdirinya suatu negara yang bisa memberi janji kesetaraan, kemerdekaan serta persaingan untuk mampu berdiri tegak di tengah-tengah perhelatan dunia global.

Dan itu semua telah dibayar oleh para founding father’s kita dengan segenap pengorbanan jiwa raga. Mereka telah berhasil menorehkan sejarah gemilang bagi keberlangsungan Nusantara, meski tinta yang digoreskan harus berupa nanah dan darah. Memang, pengorbanan selalu memakan korban, kata Lenin, bapak revolusioner Rusia.

Seperti apa kata hukum alam, sebuah usaha, jika itu memang dilandasi dengan sepenuh tekad dan daya, akan mencecap hasil yang optimal. Hal ini benar-benar menimpa mereka.

Sebab, ternyata peluh yang selama itu bercucuran tidak berbuntut kesia-siaan. Buktinya, kemerdekaan telah direnggut, kedaulatan tinggal menunggu proses (meski terseok-seok), dan gerbang pencerahan sudah terlihat di depan mata, meski secuil.

Tapi sayang, manusia tak pernah bisa menentukan nasib sendiri. Banyak hal ikhwal yang berjalin kelindan yang memaksa manusia untuk berhenti bergerak dan berjuang. Termasuk diantaranya adalah kematian, “makhluk” paling absurd yang selalu menghantui manusia pada setiap detik-detik kehidupan. Dan benar; sebelum menyempurnakan tugasnya manusia telah dulu (dipaksa) menyerah. Termasuk para pendahulu (pahlawan kemerdekaan), yang meninggalkan kita tanpa ada garansi menelorkan regenerasi yang teruji.

Terbukti, ketika Budi Oetomo pada tahun 1908 mendeklarasikan “Kaum Moeda Indonesia”-nya. Ketika Chairil Anwar, Afandi, Sudjojono -dalam dunia kesenian- mengobarkan gelanggang angkatan 45 nya. Juga, Arif Budiman, Putu Wijaya, Budi Darma –via HB. Jassin- mempromosikan “babak pencerahannya”, setelah lama tenggelam dalam kemelut yang tak mendewasakan antara kubu Manikebuis dan Realisne Sosialis.

Dan, penulis dari generasi penyongsong abad 21 ini malu meski hanya untuk sekedar berkata-kata. Apa pasal? Karena generasi yang saya tunggangi saat ini adalah segerombol manusia yang tak mempunyai wajah, identitas dan harga diri. Generasi yang hanya tertarik pada hal pengembungan perut oleh nasi daripada otak dengan pengetahuan dan hati dengan pelita Ilahi. Generasi yang hanya gemar mengunyah segala produk luar tanpa mau menelaahnya secara mendalam. Generasi yang hyper mendewakan sesuatu yang oportunis dan artifisial. Dan sederet lagi predikat yang mengecap pada generasiku yang rapuh, yang hidup pada milenium ke-3 ini.

Mungkin penyebab dari krisis yang menjangkit generasiku ini adalah kemerdekaan. Ya, kemerdekaan yang menjadikan kami buta untuk membedakan mana arti kebebasan dan kebablasan. Antara kebenaran dan kebatilan, juga hak dan tanggung jawab. Kemerdekaan talah direduksi maknanya menjadi kebimbangan dan kebrutalan.

Sebab dengan kemerdekaan kami bisa berbuat apa saja dengan leluasa, tanpa takut teror dan siksa dari penjajah seperti dulu. Karena kemerdekaan pula kami terbuai dalam kondisi yang tak berpengharapan. Menganggap bahwa semua keadaan telah labil dan utuh, sehingga tak perlu ada yang harus dibenah dan diselesaikan. Singkatnya, kami telah alpa dalam mengemban amanat kemerdekaan. Kami menjadi tak peka terhadap situasi sekitar; bahwa sebenarnya kita masih terjajah dalam segala lini kehidupan, terutama mental dan kultural.

Begitu ironisnya nasib yang menggelayut di punggung generasiku yang hidup di iklim kemerdekaan ini. Dulu, sewaktu Indonesia belum memamah kemerdekaan, ia telah berhasil melahirkan orang-orang seperti Bung Karno, Sjahrir dan Hatta. Sekarang?

Spirit tanya itulah yang memicu suplemen di bawah ini tersajikan. Suplemen yang keluar dari nurani anak negeri yang gelisah melihat kedegilan dan ketimpangan sebuah Negara yang didiaminya. Maka, karena sifatnya yang lebih mirip rekam-jejak-penat itulah, suplemen tak hendak berharap banyak. Sebab suplemen ini hanyalah serpihan pikir yang amat dangkal, klise dan tentu sektoral-partikular. Meski demikian penulis masih meyakini ujar Chairil Anwar: lebih baik kalah daripada tak berperang sama sekali! Secuil aksi jauh lebih baik daripada ide luhur yang hanya menggenang di batok kepala yang abstrak.

Selamat menjelajah!

Sawahku, Surgaku


Sedari pagi tadi, teh hangat dan tumpukan kue serabi masih tetata rapi. Tak tersentuh. Berbeda dengan lazimnya, semua suguhan itu pasti akan habis dilahap Ayah sebelum mentari beranjak ke tepian kepala. Memang, tak ada yang dilakukan Ayah, kecuali mondar-mandir sembari mamagut keningnya yang tak berkeringat. Itu saja.

Sampai-sampai Ibuku yang sedang melakoni ritus hariannya, memasak dan menabur bubur dedak untuk ayam di belakang, tergoda untuk segera beringsut demi mengetahui apa gerangan yang meyumbat kepala suaminya, Ayahku. Ibu bergegas menanyakan ikhwal itu ke Ayah.

”Ada apa toh Yah, kok dari shubuh cuma bolak-balik kaya orang linglung? Mikirin Agus? Apa yang lain?”, cecar Ibu tak sabar.

Ayahku yang memang bertempramen pendiam dan bijak menanggapi pertanyaan itu dengan tenang. Meski beban berat tak dapat ditutupi dari raut mukanya.

”Ayah kok khawatir jika Agus jadi datang lusa nanti. Soalnya dia begitu berambisi ingin menjual sawah warisan kakeknya di belakang, dan hendak memermaknya menjadi bengkel otomotif. Padahal, sawah itu adalah pusaka yang sudah turun temurun menjadi kebanggan nenek moyangku. Bukan sekadar tanah mati.”, keluh Ayah membuncahkan isi penatnya.

Memang, Agus, kakak sulungku yang kini tengah menempuh studi di Netherland jurusan tekhnik otomoif, beberapa kali menggurat surat tentang rencananya itu kepada keluarga. Akupun sempat sesekali membacanya. Entah apa yang membuatnya begitu ingin menjual sawah warisan kakek? Apa memang pola pendidikan di negeri modern hanya mempelajari tentang eksploitasi, bukan apresiasi; tentang nilai tukar daripada nilai guna; tentang sukses, menepis penghayatan akan proses; tentang kreativitas yang diganti dengan produktifitas?, gerutuku kala itu. Ach, untung saja aku tak jadi mengikuti jejaknya.

”Oh, itu toh. Ibu juga bingung. Tapi juga tak enak jika tak mendukung si Sulung. Satu sisi, suami ingin A. Pada sisi lain, anak hendak Z. Och,,,susahnya jadi wanita!”, kesal Ibu menyudahi percakapannya dengan Ayah.

Ayah yang memang sudah tahu seluk-beluk prilaku istrinya, hanya bisa menggelengkan kepala dan mengelus dada. Di hatinya mungkin membatin: ”bukannya kasih solusi malah berkeluh diri...”

# # #

Daripada di rumah ikut pening, aku memutuskan diri untuk hengkang ke sawah. Mumpung sekarang tanggal merah. Aku dapat bersuka cita dan merenungi hidup di sawah peninggalan kakekku yang kucintai. Lagipula, aku sangat rindu mencium aroma asap jerami dibakar. Menghirup bau tanah basah sawah sehabis dibajak. Dan tentu, ini yang paling kusuka, lumpur sawah: rata, datar, menyimpan anugerah alam. Seolah di sinilah Tuhan memercikkan pecahan surga dari Nirwana-Nya. Di sawah ini, sawah peninggalan kakekku.

Aku lewati beberapa tegalan, sembari sesekali rehat di bawah naungan pohon kelapa yang sedang rindang. Di sinilah semua potongan memori dan kenangan indahku bersama kakek terekam. Aku ingat betul, pada saat itu umurku belum genap 5 tahun. Setiap kali kakek dan ayah mau berangkat ke sawah, aku selalu diajaknya turut serta. Kadang naik di punggung ayah, seringkali di pundak kakek. Dan aku begitu menikmati saat-saat indah itu. Itulah alasan mengapa aku menganggap sawah bukan sekadar lahan meraup peruntungan. Tapi lebih dari itu: sawah merupakan tempatku mematri kisah, tempatku berkeluh kesah, dan juga tempatku menghikmati keagungan ciptaan Tuhan. Bagiku, kala itu, aku hanya mempunyai tiga harta paling berharga di dunia ini: kakek, Ayah, dan sawahku. Tak lebih.

Pernah, sewaktu aku sudah duduk di di bangku II SMP, aku terlibat masalah kecil dengan kakaku, Agus, yang sudah menginjak kelas II SMA. Soalnya cuma remeh: Agus memintaku bertukar sepatu dengannya. Alasannya hanya karena sepatuku sedikit lebih bagus darinya, dan mirip seperti sepatu sepak bola yang kala itu tengah trend.
Aku sebagai bungsu tentu tak mau terus-terusan hakku dirampas oleh si Sulung yang arogan itu. Sedangkan Agus, entah sebab apa, sedari kecil ia tak pernah mau mengalah dengan siapapun, meski adiknya sekalipun. Kuakui, dulu, akek, Ayah dan juga Ibuku begitu memanjakannya. Lantaran ialah janin pertama yang lahir setelah 12 tahun ditunggu-tunggu kehadirannya. Bukan aku. Dan rasanya, proporsi itu hingga kini memang masih berlaku, meski sedikit berubah. Pasalnya, kulihat akhir-akhir ini Ayah sudah terlihat lelah menuruti kehendak anak sulungnya itu.

Tapi tak apa. Toh aku sudah dapat kebahagiaan dengan membenamkan diri lama-lama di sawah. Meski di sana tak ada yang kukerjakan selain diam yang mengaji kehidupan.

# # #

Tibalah hari menakutkan itu: kedatangan Agus dari negeri kincir angin. Menakutkan bagi Ayah dan aku, tentu. Sebab Ibuku memang memandang Agus layaknya Avatar yang tak mungkin menoreh kesalahan. Bagi Ibu, segala yang dilakukan Agus adalah hal yang patut dan perlu didukung, mesti terkadang tak masuk di akal. Buktinya, Ibu pernah menjual cincin tanda kasih dari Ayah hanya untuk memenuhi permintaan si Sulung yang kebelet ingin punya sepeda motor baru. Kasihan Ayah...

Maka, bersiaplah Ayah, Ibu, Mbak dan aku berangkat jauh ke Jakarta untuk menyambut kedatangannya di bandara Soekarno-Hatta. Untuk kedua kalinya aku menginjak tanah Ibu Kota ini. Awal kali, ketika melepas pemberangkatan Agus ke Belanda. Dan sekarang untuk kali yang kedua.

Sebenarnya aku tak begitu berminat ke Jakarta. Selain karena ramai dengan hiruk-pikuk kendaraan yang hanya menebar polusi, Jakarta bagiku tak ubahnya kota yang banyak merampas hak kota dan daerah lain. Sentralistis! Di samping itu, di Jakarta aku tak dapat mencecap aroma transendensi yang lazim kutemu di sawah kampungku. Karena di sini tak ada yang kasat mata selain hanya bangunan yang berjejal-jejal dan pemukiman kumuh yang jauh dari manusiawi. Berbeda dengan situasi kampungku. Meski terkucil dari keramaian, kampungku menyimpan sejuta kedamaian, walau tak banyak ditemu bukti modernisasi di sana. Begitu polos dan alami. Aku rindu kampungku...

Suara pesawat yang berderit kencang membuatku terjaga dari lamunan. Dalam pesawat itu rupanya Agus membawa segunung rencananya yang membuat Ayah dan aku tak dapat tidur nyenyak beberapa akhir ini. Agus turun membawa kopor besar dan ransel di tangan kirinya. Secara fisik, si Sulung tak banyak perubahan. Tapi tunggu...penampilan. Yah, fashionnya kini begitu beda 180 derajat dengan 6 tahun silam di saat belum menapaki negeri seberang. Jika dulu waktu berangkat ia mengenakan setelan celana hitam panjang dan kemeja biru langit yang cantik, sekarang tidak. Yang membalut tubuhnya kini serupa dengan aktor-aktor yang biasa kulihat di TV: jas belel, jeans sarat sobekan, kaos oblong ketat dan kacamata hitam layaknya mafia. Itukah seragam kuliah di Netherland sana?, pikirku heran.

# # #

Dalam perjalanan tak banyak pebincangan antara aku, Ayah dan Agus. Sedari awal Agus sudah diberondong pertanyaan oleh Ibu. Jadi kami seperti tak punya kesempatan untuk beramah tamah dengannya. Sesampainya di rumah, setelah melewati sedikit basa-basi, Ayah memberanikan diri untuk bertanya pada Agus tentang rencananya itu. Tapi aneh, Agus seperti sudah dapat menangkap sinyal kegelisahan dari ayah. Ia pun memotongnya dengan bergumam: ”Santai saja pak. Aku tak jadi menjual sawah warisan kakek. Karena aku sudah mendapat lahan yang lebih prospektif di Belanda sana. Sejujurnya, kepulangan Agus kali ini hendak memohon restu dari keluarga mengenai rencana terbaru Agus ini. Bagimana menurut ayah?”, ujar Agus terang-terangan.

Ayah, Ibu, Mbak dan aku hanya bergeming dan termangu mendengar ungkapan Agus. Saling pandang satu sama lain. Diliputi oleh semesta tanda tanya sekaligus bahagia.

Hutan: Nyawa dan Surga Indonesia!


Pada suatu kesempatan, budayawan Emha Ainun Nadjib pernah membuat statemen: (Hutan) Indonesia adalah pecahan mozaik surga yang dianugerahkan Tuhan untuk penduduk Nusantara. Ini tentu bukan kembang gula pemikirannya semata, lantaran siapa yang dapat mengingkari bahwa kita punya satu kekayaan yang tak terpermanai harganya: hutan-hutan yang semerbak hijau di hampir seantero Indonesia. Sebagian pakar bahkan meyakini bahwa Indonesia adalah di antara negara yang menjadi poros paru-paru dunia. Sungguh eksotis!

Tapi kenapa, lambat laun fakta anugerah ini sedikit demi sedikit manjadi kabur sebab ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab, termasuk di antaranya tangan negara, yang hendak menjadikan Indonesia, terutama alam hijaunya, hanya sebagai komoditas layak jual semata. Lahan pertanian dipapas untuk dijejali mall-mall dan swalayan, taman-taman yang menghiasi sekujur jalan terpaksa dipangkas demi pelebaran jalan para pengendara bermodal, kakayaan bahari pupus direbut oleh ambisi-ambisi primordial kolektor berdasi, dan kini hutan lindung kita, harta pamungkas kita, juga bakal dijual pemerintah pada taoke-taoke kaya yang jarang hirau pada keselamatan rakyat semesta.

Akibatnya, alam kini mulai mengibarkan bendera perang. Beberapa kali paska Tsunami meletus, bumi Indonesia tak henti-hentinya memberikan lampu peringatan kepada kita. Mulai dari longsor, gempa, banjir bandang, hingga yang termashur tentu pemanasan global. Ini tentu bukan peringatan main-main. Sampai-sampai lembaga seterhormat PBB harus repot-repot membuat hajatan tentang pemanasan global di Bali Desember 2007 lalu, hanya untuk lebih menggemakan bunyi peringatan alam ini. Batapa tidak? Ancaman akan efek pemanasan global kini bukan sekadar pada taraf “siaga” seperti yang diketahui sebagian pihak, melainkan “awas”! Tak kurang, Jay Zwally, seorang ilmuwan iklim dari NASA bahkan memperkirakan es di Arktik akan habis pada musim panas tahun 2012. Yang berarti akan terjadi ledakan mahadestruktif disebabkan lepasnya gas metana dalam jumlah besar yang akan memanggang bumi dan mempercepat cairnya es di Kutub Selatan. Rajendra K. Pachauri, ketua IPPC (Intergovernmental Panel on Climate Change), menambahkan: dua atau tiga tahun ke depan ini menjadi penentu masa depan bumi yang paling kritis. Klise, bukan?
Ini masih dampak yang sifatnya ekologis, belum sektor-sektor lain yang juga tak kalah pentingnya. Ekonomi dan kultural, misalnya. Untuk efek domino negatif yang skalanya ekonomis tak usah lagi disangsikan. Pernyataan ini barangkat dari fakta bahwa 60 % lebih rakyat Indonesia menggantungkan pencahariannya, bahkan eksistensinya, pada keberadaan hutan di sekeliling mereka. Penduduk desa Nebang Para, Sungai Bahar, Muaro Jambi, yang sekarang hidup seperti cacing (di mana tanah hidup, di situ juga mereka bertahan hidup), ialah misal paling jelas dari poin ini. Penduduk yang tergabung dalam komunitas Adat Suku Bathin Sembilan itu lemah lunglai setelah 30 tahun tanah huniannya berubah menjadi kebun sawit yang dimiliki sejumlah perusahaan swasta dan BUMN.
Efek kultural juga tak kalah mengerikan. Ancaman terjadinya disintegritas, chaos, maupun tercerabutnya bianglala nilai-nilai kearifan lokal yang lazim dipunyai oleh masyarakat adat, adalah di antara macamnya. Padahal kabajikan lokal itu banyak yang dapat dijadikan inspirasi bagi pemerintah maupun rakyat yang hendak bersahabat dengan alam. Kearifan lokal masyarakat suku Baduy di Banten semisal. Suku ini begitu sensitif jika sudah bersinggungan dengan tema kelestarian hutan. Hingga ada satu pameo teologis yang mereka pegang erat: gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak (gunung jangan dihancurkan, sawah jangan dihancurkan). Bisakah kita sampai pada taraf kesadaran batin seperti itu?

# # #

Untuk sementara, biang keladi yang dituduh menjadi kambing hitam atas semua bencana segala lini yang mahadahsyat ini tak lain adalah para kapitalis multinasional yang serakah, pemerintah yang lalim dan kesadaran masyarakat yang masih setitik tentang pengetahuan penanganan hutan. Perusahaan-perusahaan besar seperti Newmont, Exxon Mobile, Freeport, yang kesemuanya tak pernah mengindahkan ekosistem alam dalam prosesi kerjanya, bisa ditunjuk sebagai misal yang pertama. Belum lama ini, pemerintah bahkan baru saja mengesahkan PP 08/2008 tentang penyewaan hutan lindung dengan harga yang amat fantastis murahnya: Rp 300 untuk setiap satu meternya. Menurut lansiran beberapa media, PP itu lahir karena desakan dari World Bank dan koleganya, seperti Asian Development Bank serta Japan Bank for International Cooperation. Apapun alasannya, yang demikian cukup untuk menjadi bukti bahwa pemerintah belum becus menelurkan kebijakan yang pro pada kelestarian dan kekayaan hutan.


Ini tentu ironi atau bahkan parodi, ketika pemerintah yang seharusnya mengayomi kesejahteraan rakyat justru menjadi pihak yang memfasilitasi aksi penjarahan massif-implisit tersebut. Massif karena ia berkaitan dengan keselamatan rakyat banyak. Implisit sebab pemerintah dalam mensukseskan proyek ini menggunakan payung hukum dan konstitusi sebagai legalitasnya. Inilah mungkin yang menyebabkan hukum kini kehilangan wibawanya. Sebab memang hukum sekarang hanya menjadi kendaraan penguasa dan kaum kaya (investor luar ataupun dalam negeri) untuk bersama-sama mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Bagaimana tidak? Regulasi yang seharusnya menjadi wadah bagi aspirasi rakyat, utamanya mereka yang papa dan tersubordinat, justru tereduksi fungsinya: mengebiri hajat khalayak benyak demi kepentingan sektoral-partikular –kalau tidak bisa dikatakan kelompok- pemerintah yang ujung positifnya begitu parsial dan masih musykil dibuktikan. Jika demikian, apa gunanya penyebutan ”kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat” yang termaktub dalam bagian pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 itu? Kalimat bijak Abraham Lincoln, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people), juga tentu tidak tercermin sedikit pun pada kasus di atas.


Bercermin dari fakta di muka, pembenahan secara intensif mengenai konsep perhutani harus sesegera digalakkan. Baik itu dari segi hukum (de jure) maupun operasionalnya di lapangan (de facto). Tetapi yang lebih urgen dan fundamen harus diupayakan tentu ikhwal yang berhubungan dengan konstitusional, sebelum nantinya merambah ke hal yang bersifat ekstra. Juga, upaya ini di samping menuntut keterlibatan pemerintah, tak kalah pentingnya partisipasi dari korporasi perhutani dan masyarakat sendiri. Sebab itu, ada beberapa titik solutif yang mungkin dapat digunakan bahan pertimbangan di sini.


Pertama, memperlebar peta tata pikir yang menawarkan varian alternatif. Terkhusus bagi mereka para pejabat yang duduk di kursi yudikatif, eksekutif dan legislatif. Sebab akhir-akhir ini disinyalir banyak dari petinggi negara ini yang hobi berpikir pragmatis,instant dan dikotomis. Menangani kekurangan pangan dengan cara mendatangkan beras impor, adalah di antara bukti dari sesat produk pikir (dangkal?) semacam itu. Bukannya dicari alternatif lain via pendekatan ekologi dan ekoregion akan sumber pangan yang sudah dimiliki masyarakat selain beras, untuk nantinya dikembangkan sebagai langkah antisipasi.

Kedua, perubahan kelembagaan perhutani di pedesaan. Ini erat kaitannya dengan pemulihan ekonomi masyarakat underground yang hidup di bawah berkah hutan maupun pertanian. Dalam hal ini masuk 1) lembaga penguasaan tanah, 2) lembaga hubungan kerja dan 3) lembaga perkreditan. Sayang, untuk poin pertama (kelembagaan tanah), kepemilikan tanah sebagai tonggak utama masyarakat petani kini kondisinya semakin memiriskan. Di Jawa saja rata-rata kepemilikan lahan itu hanya sekitar 0,25 hektar. Penciutan ini di samping karena tergerus oleh keserakahan sektor industri yang lapar lahan, juga karena kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor hutan dan pertanian. Poin kedua, relasi kerja. Ini penting, karena ia terkait langsung dengan penentuan proporsi ekonomis yang akan diperoleh oleh produsen agraria di pedesaan. Yang ketiga, ikhwal perkreditan, formal maupun informal (Bank, Koperasi, dll). Kenyataan yang selama ini kasat mata, lazimnya lembaga perkreditan itu hanya mau berkompromi dengan mereka pekerja agraria yang punya skala besar. Sebaliknya, petani-petani kecil terkucil justru di saat lembaga itu menganga di depan mata.


Ketiga, sedapat mungkin mempersempit intervensi asing yang hendak menancapkan modalnya di sektor perhutani. Kecuali jika itu bersangkutan dengan kerja sama distribusi maupun penelitian. Langkah ini bukan berarti mencerminkan sikap eksklusif, melainkan sekadar kuda-kuda defensif untuk mengantisipasi kemungkinan terserang noe-kolonialisme jenis baru, yang selama ini menemukan kristalisasinya pada negara-negara pemegang kapital. Tentu kita tak ingin mengulang sejarah kelabu di mana pada saat ditetapkannya UU Agraria 1870, Belanda dan Eropa mendapat kesempatan luas berbisnis di perkebunan Indonesia. Sebaliknya, penderitaan hebat dipikul rakyat Bumiputera, lantaran semua keuntungan dimonopoli oleh mereka. Memekikkan!


Keempat, mensosialisasikan sejak dini pada masyarakat akan penanganan hutan (alam) yang proporsional. Lantaran banyak dari masyarakat Indonesia, terutama yang hidup di distrik-distrik pedalaman, tingkat pengetahuannya begitu rendah. Seperti penduduk bukit-bukit Timika di Papua. Pada mulanya mereka tak mengerti apa yang sebenarnya tengah dikerjakan oleh orang-orang asing dengan truk-truk pengeruk raksasa itu. Yang mereka tahu hanya ada lapangan kerja yang sudah menunggu di depan mata. Tapi setelah semua sudah terkuras habis, mereka baru sadar bahwa mereka baru saja dijarah oleh orang-orang ”pusat” nan asing. Hal yang sama banyak terjadi di daerah ”tertinggal” lain.


Terakhir, merekonstruksi kebijakan internal negeri ini sendiri. Sebab meski banyak ditemukan UU yang sepertinya memihak kesejahteraan kaum tani dan stabilitas hutan (pasal 33 UUD 45, misalnya), tetapi dalam praktiknya UU itu tak ubahnya lebah tanpa sengat. Tragedi di selatan pantai Kulon Progo baru-baru ini tentang lahan pasir pertanian rakyat yang sudah lama ditekuni, akan begitu saja dikangkangi oleh para pengusaha dengan izin negara, ialah salah satu pembukti dari mandulnya fungsi pemerintahan kita. Intinya semua regulasi yang tak senada dengan komitmen global akan penanganan stabilitas alam, juga tidak senafas dengan ruh UU 41/1999 tentang kehutanan, harus segera diverifikasi. Upaya ini bukanlah perkara sulit. Mengingat, seperti yang pernah didedah pakar konstituisi, K.C. Wheare; konstitusi adalah resultante, alias hasil kesepakatan. Pembentukannya berdasarkan pada situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya tertentu. Konstitusi adalah produk situasi. Karena itu mesti ada resultante baru jika memang dibutuhkan. Tesis ini juga mengindikasikan bahwa di dunia ini tidak ada konstitusi yang tidak dapat dirubah. Memang, apalah arti sebuah sistem aturan (undang-undang) jika isinya justru membuat rakyat dan alam menangis?


Kapan lagi menunggu kesadaran akan kepedulian hutan bersemi di sanubari kita jika tidak dari sini dan detik ini? Sadangkan waktu dan kondisi sudah tak sudi berkompromi. Karena itu, tak ada salahnya jika sedari kini kita tancapkan keyakinan di palung jiwa: bahwa hutan tak lebih berharga dari NYAWA dan SURGA kita. Dua hal yang pasti akan kita jaga dan kejar mati-matian, bukan? Bagaimana? Wallahu a’lam.



Menjemput Indonesia Yang Bernafaskan Agraria


Dalam pasang surutnya, peran petani dan pertanian tak mungkin abstain dari lembar sejarah negeri kepulauan ini. Lantaran Indonesia merupakan satu di antara Negara yang sebagian besar tanahnya dihiasi oleh semerbak lahan hijau nan subur. Wajar jika banyak ahli dari dalam maupun luar negeri yang meyebut Indonesia sebagai Zamrud Khatuslitiwa.

Tetapi, sepertinya telah terjadi ironi, atau bahkan parodi, yang diprakarsai oleh penghuni negeri ini sendiri. Kita seperti terjebak dalam kutukan the paradox of plenty (kutukan kekayaan): tikus mati di lumbung padi. Betapa tidak. Di negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini, kenapa masih kerap ditemukan rakatnya yang terlilit kemelaratan dan kelaparan? Di Makassar, seorang ibu dan anak balitanya meninggal karena kelaparan; di Yahukimo, Papua, telah terjadi kelaparan dalam jumlah massal; di Rote Ndao, NTT, masyarakatnya telah dihantui oleh hama KLB busung lapar; dan di Serang, Banten, penduduknya makan nasi aking yang seharusnya dimakan itik. Ini adalah segelintir contoh yang berhasil terekam oleh kamera media. Betapa tak terbayangkan banyaknya kasus serupa yang tak sempat tertangkap oleh lanskap media massa.

Ada apa ini? Kenapa masyarakat kita terjebak dalam labirin kemiskinan yang akut, sedangkan di samping kiri-kanannya tergelar lebar tanah subur yang dapat dibudidayakan dan menjadi aset penghidupan? Ataukah, Indonesia merupakan negeri yang masuk dalam ramalan Thomas Robert Malthus (1798), yang mengutarakan bahwa di hari depan akan berlangsung kelaparan massal? Sebab, lanjut Malthus, peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung (seperti siput) sedang pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (layaknya kuda liar). Akibatnya, kelaparan berskala kolosal pun menjadi efek yang tak terhindarkan dari gejala ini. Bisa jadi ya, bisa jadi tdak. Ya, jika tesis Malthus dikontekstualisasikan pada ranah geografik yang tandus tetapi penduduknya membengkak. Tentu ini tak relevan jika dikaitkan dengan Indonesia. Sebab meski data statistik menunjukkan angka penduduk yang terus merangkak naik, tapi lahan subur nan tropis masih dapat dijumpai di sana-sini. Lagipula, jika memang benar terjadi hal di atas, maka bukan tesis Malthus yang bisa dijadikan landasan argumen, melainkan campur tangan pihak lain yang bekerja amat implisit tetapi dampaknya langsung bisa dirasa.

# # #

Untuk sementara, cengkraman kapitalisme global dan buruknya birokrasi konstitusional-institusional menjadi terdakwa utama atas tragedi ini. Untuk yang awal sepertinya tak usah disangsikan lagi. Mengingat, memang negara-negara adidaya (terutama AS dan Uni Eropa) dalam bebarapa dekade akhir ini sedang giat-giatnya mencabik-cabik sendi perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia, via kedok bantuannya yang mengikat dan diskriminatif. Tentu masih hangat ingatan di kepala, di saat tahun 70-90 an, atas nama Program Penyesuaian Struktural (SAP), IMF dan Bank Dunia memaksa negara-negara berkembang untuk memangkas drastis anggaran pemerintah dalam berbagai sektor, khususnya untuk program pertanian, sebagai prasyarat agar terus mendapat kucuran hutang dari lembaga tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan, salah satunya, pada penyusutan produksi pangan yang terus menjadi momok hingga kini.

Yang kedua, terkait dengan kebijakan internal negeri ini sendiri. Meski banyak ditemukan UU yang sepertinya memihak kesejahteraan kaum tani (pasal 33 UUD 45, UU No. 5/1960, UU No. 56/1960, misalnya), tetapi dalam praktiknya UU itu tak ubahnya lebah tanpa sengat. Jauh dari merealita. Apalagi ketika Indonesia masih di bawah kendali rezim ORBA, segala sesuatu yang berhubungan dengan terobosan petani selalu saja dicap sebagai agen neo-PKI yang harus sesegera diberantas eksistensinya. Padahal Bung Karno sendiri amat afirmatif terhadap nasib kaum bercangkul ini. Terbukti, beliau pernah mendirikan ideologi Marhaenisme: suatu faham yang menghendaki para petani menjadi kekuatan (ekonomi) garda depan bangsa ini. Karena menurut beliau 80% penduduk Indonesia terdiri dari kaum Marhaen ini (sekarang 44%).

Ini belum ditambah dengan fakta bahwa 25 Maret lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memenuhi sebagian dari judicial review UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. MK hanya membatalkan pasal 22 terkait hak atas tanah yang tertuang dalam UU ini. Selebihnya, UU ini dianggap konstitusional. Tentu, UU ini masih bengkok dan sangat tak memihak kesejahteraan agen produksi (korporasi maupun pekerja) pertanian lokal. Bagaimana tidak? Petama, perlakuan sama yang tidak membedakan asal negara (pasal 3) dianggap konstitusional. Seharusnya, arah pembangunan lebih memprioritaskan kepentingan nasional-lokal. Kedua, kemungkinan berlangsungnya capital flight karena dibolehkannya pemindahan aset kapan dan di manapun (pasal 8), juga amat mengkhawatirkan. Padahal, itu terkait erat dengan kebijakan pemutusan hubungan kerja secara massal (Usep Setiawan/2008).

Berangkat dari titik inilah, pembenahan komperehensif mengenai konsep agraria mutlak dibutuhkan. Baik itu dari segi hukum (de jure) maupun operasionalnya di lapangan (de facto). Tetapi yang lebih urgen dan fundamen harus diupayakan tentu ikhwal yang berhubungan dengan konstitusional, sebelum nantinya merambah ke hal yang bersifat ekstra. Agrotekhnologi, semisal. Jadi, upaya ini di samping menuntut keterlibatan pemerintah, juga tak kalah pentingnya partisipasi dari masyarakat petani (korporasi, petani maupun pekerja) sendiri. Sebab itu, ada beberapa titik solutif yang mungkin dapat digunakan bahan pertimbangan di sini.

Pertama, menyangkut perubahan kelembagaan di pedesaan. Dalam hal ini masuk 1) lembaga penguasaan tanah, 2) lembaga hubungan kerja dan 3) lembaga perkreditan. Sayang, untuk poin pertama (kelembagaan tanah), kepemilikan tanah sebagai tonggak utama masyarakat petani kini kondisinya semakin memiriskan. Di Jawa saja rata-rata kepemilikan lahan itu hanya sekitar 0,25 hektar. Penciutan ini di samping karena tergerus oleh keserakahan sektor industri yang lapar lahan, juga karena kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor pertanian. Poin kedua, relasi kerja. Ini penting, karena ia terkait langsung dengan penentuan proporsi ekonomis yang akan diperoleh oleh produsen agraria di pedesaan. Yang ketiga, ikhwal perkreditan, formal maupun informal (Bank, Koperasi, dll). Kenyataan yang selama ini kasat mata, lazimnya lembaga perkreditan itu hanya mau berkompromi dengan mereka pekerja agraria yang punya skala besar. Sebaliknya, petani-petani kecil terkucil justru di saat lembaga itu menganga di depan mata. Nah, ini (perubahan lembaga) PR pertama yang harus diselesaikan pemerintah sebelum menginjak langkah yang lebih panjang: agribisnis multinasional, semisal.

Kedua, pesan ini lebih diperuntukkan bagi mereka investor ataupun korporasi lokal yang berkantong tebal. Maksudnya, diharapakan para pengusaha atau korporasi yang tajir itu mau menanam setitik modalnya bagi penguatan sektor pertanian, khususnya yang berada di pedesaan. Pasalnya, satu diantara motif para petani stagnan dalam kegiatan berproduksi, ialah karena langkanya pembiayaan. Di samping itu, investasi juga dibutuhkan dalam ranah riset dan penelitian yang ditujukan kepada para peneliti dan akademisi. Sebab, hidup di dusun global seperti ini, pemecahan yang bersifat alternatif merupakan sesuatu yang niscaya (biofuel, semial). Setelah itu, tinggal sosialisasinya saja kepada kalangan pertanian grass root. Maka, merupakan hal istimewa jika korporasi maupun investor (lokal) mau menengok saudara mereka yang tak berdaya di tubir-tubir desa, betapa kecil sekalipun prospek profit-finansialnya.

Ketiga, sedapat mungkin mempersempit intervensi asing dalam proyek ini, terutama dalam hal pendanaan. Kecuali jika itu bersangkutan dengan kerja sama distribusi maupun penelitian. Langkah ini bukan berarti mencerminkan sikap eksklusif, melainkan sekadar kuda-kuda defensif untuk mengantisipasi kemungkinan terserang noe-kolonialisme jenis baru, yang selama ini menemukan kristalisasinya pada negara-negara pemegang kapital. Tentu kita tak ingin mengulang sejarah kelabu di mana pada saat ditetapkannya UU Agraria 1870, Belanda dan Eropa mendapat kesempatan luas berbisnis di perkebunan Indonesia. Sebaliknya, penderitaan hebat dipikul rakyat Bumiputera, lantaran semua keuntungan dimonopoli oleh mereka. Memekikkan!

Terakhir, terkait dengan kebijakan konstitusional. Sebab, semua akan melemah di lapangan jika tak ada legitimasi hukum yang memayunginya. Karena itu, dalam rangka reforma agraria ini pemerintah harus tetap berpijak pada pedoman: ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, seperti yang sudah termaktub dalam pasal 33 UUD 45 itu. Adapun mengenai pengembangan atau mekanisme kerjanya, tinggal disesuaikan saja dengan situasi yang melingkupinya.

Jika semua prasyarat itu sudah dilakukan, semoga 1) kita mampu menampik ramalan Malthus sedari dini. Di samping juga 2) dapat menepis kemungkinan terjadinya konflik agraria yang lazim terjadi di saat situasi perpanganan sedang genting. Seperti sudah dilansir sejarawan Ong Hok Ham; sejak tahun 1930, terutama seusai perang Diponegoro hingga awal abad ke-20, telah terjadi lebih dari 100 aksi resistensi rakyat petani tarhadap para birokrat, ambtenar, maupun borjuis yang culas dan kejam. Dan, terakhir, 3) harapan akan pertanian /agribisnis dapat menjadi pilar utama perekonomian Indonesia di hari depan, tidak hanya sebatas impian belaka. Bagaimana? Wallahu A’lam.

Rabu, 11 Februari 2009

Infrastrukur Untuk Indonesia: Infrastruktur yang Humanis-Ekologis: Belajar Pada Deandels?


Ada benarnya ujar Hasyim Wahid, adinda Gusdur, dalam salah satu sajaknya yang berjudul Monumen. Bahwa setiap monumen atau apapun karya cipta manusia yang megah nan monumental, selayaknya disikapi dengan waspada. Lantaran tak jarang dalam proses pembuatannya, monumen-monumen itu menyisakan noda merah pada lembar sejarah kemanusiaan.

Piramid Fir’aun, tampaknya disemen dengan tulang belulang rakyat Mesir. Tembok Besar China, sepertinya dicat dengan air mata rakyat Dinasti Han. Patung Liberty, juga tak kalah mengerikan. Sebab monumen negeri adidaya itu ditengarai bahan dasarnya mengenakan gincu darah Indian. Dan, Borobudur yang agung? Entah dengan dan sebanyak apa manusia Jawa membayar untuknya (Hasyim Wahid, 2005).

Fakta ini, sepertinya juga berlaku pada peristiwa proyek produksi jalan secara besar-besaran yang dikomandani oleh Mr. Herman Willem Deandels (1762-1818) –yang kelak masyhur dengan sebutan Jalan Deandels atau Jalan Raya Pos. Gubernur Jenderal yang ditugaskan di Hindia Belanda Timur atas saran Napoleon Bonaparte ini, pada saat itu, merencanakan pembangunan infrastruktur jalan antara Anyer-Panarukan yang panjangnya sekitar 1000 km. Dua titik geografis yang menyilang antara ujung barat hingga timur pulau Jawa.

Tidak cukup di situ agenda Deandels, sebab ia juga berinisiasi membangun infrastruktur lain berupa rumah sakit, tangsi-tangsi militer, pabrik senjata (di Semarang dan Surabaya), sekolah militer (di Batavia) dan benteng-benteng pertahanan (Meester Cornelis di Batavia-Jatinegara- dan Lodewijk di Surabaya). Meski demikian, tokoh yang sedikit punya kemiripan dengan Eduard Douwes Dekker (1820-1887) ini, tetap menjadikan proyek jalan sebagai prioritas utama agendanya.

Memang, motif Deandels mencetuskan proyek itu, disamping sebagai upaya memudahkan aktifitas transportasi daerah imperiumnya, juga sebagai langkah devensif dari kemungkinan terjadinya invasi Inggris yang bisa datang secara tiba-tiba. Mengingat, Jawa-lah satu-satunya jazirah imperium koalisi Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris. Meski untuk hal yang kedua tidaklah terlalu berhasil, karena beberapa kali armada Inggris berhasil bertandang ke perairan laut Jawa.

Awal kali, Inggris muncul di perairan utara laut Jawa. Kedua kalinya, Inggris sekonyong memblokade Batavia dan menghancurkan labuhan kapal Belanda hingga tak berfungsi lagi. Terakhir, Inggris terlihat di Gresik di bawah komando Laksamana Pellew. Inilah, mungkin, alasan mengapa Deandels besikap sigap dengan memaksa penduduk Bumiputera untuk turut dalam barisan tentara Belanda. Tugasnya, selain untuk memperkuat benteng pertahanan, juga agar pembuatan Jalan Raya Pos cepat terealisasi. Dari titik inilah, proyek itu kerap memakan korban, terutama penduduk pribumi.

Tetapi, di balik mitos Jalan Raya Pos yang dramatik itu, ternyata masih menyisakan sejumput kontroversi yang hingga kini belum menemu titik terang. Pasalnya, pada saat itu pendokumentasian hanya dihegemoni oleh data yang dikais dari Netherland, dan mengesampingakan manuskrif lain (manuskrif laporan asli Deandels yang masih tersendat pada kekaisaran Napoleon Bonaparte, semisal) yang mungkin lebih representatif untuk mendedah ikhwal kisah ini. Silang pendapat antara jalur mana sebenarnya yang menjadi letak garapan Deandels, adalah salah satu bukti kontroversi itu. Inilah PR yang harus diselesaikan sejarawan kita!

Pertama, ini adalah pendapat yang lazim, mengutarakan bahwa Deandels memang menggurat jalan sepanjang Anyer-Panarukan. Padahal, jalan antara Anjer-Batavia saja sudah ada jauh sebelum Deandels menapakkan kakinya awalkali di Hindia Belanda (Wikipedia). Versi kedua mengatakan, sejatinya Deandels membangun jalan itu mulai dari Buitenzorg (Bogor), Cisarua, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga sampai Pekalongan. Adapun sepanjang jalan Pekalongan-Panarukan, Deandels hanya memperlebar an sich (Het Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14). Singkatnya, menurut versi kedua, jasa Deandels hanya sebatas pada pelebaran jalan dan menjadikan trayek Surabaya-Panarukan sebagai orbit pelabuhan paling timur. Itu saja. Memang, bukan sejarah namanya jika ia tak dihiasi oleh gugusan tanda tanya!

Terlepas dari semua kontroversi itu, Deandels, sesuai dengan keyakinan umum, telah menoreh sejarah transportasi gemilang di seantero Jawa ini, yang manfaatnya dapat kita cecap hingga kini. Terutama, yang terkait dengan 1) efisiensi laju transportasi dan 2) birokrasi pengiriman (pos, semisal) yang kompatibel dan terjangkau. Tentu ini adalah pencapaian yang patut dibuat pelajaran, baik-buruknya, oleh pemerintah maupun masyarakat.

Masalahnya kini, 2 abad paska Deandels, pemerintah kita ternyata belum cukup mampu manjaga warisan maha agung dari Deandels –infrastruktur yang multimanfaat. Contoh kecil: lihatlah, untuk konteks Jatim saja, sekujur jalan maupun tata ruang kota masih banyak yang semrawut, kotor, rawan bencana alam, dan tak terawat. Tuban, misalnya. Semenanjung bibir pantai yang mengitari jalur utama (pantura)-nya dipenuhi sampah yang superjorok. Dari mulai sampah industri (limbah) hingga sampah penduduk pribumi. Semua turut berpartisipasi.

Gresik? Tak kalah semrawut. Coba tengok wilayah sekitar industri PT.Maspion dan PT.Semen Gresik, tidak ada yang tersisa selain hanya jalan sarat gompelan dan udara yang menyatu dengan polusi menyesakkan. Surabaya, apalagi! Meski Kota Pahlawan ini baru menyabet kota Adipura, tetapi yang baru dilakukan hanyalah sekadar langkah ”tambal sulam”. Artinya, tata ruang yang dipermak sebatas bagian-bagian tertentu saja. Yang dekat dengan sorotan publik dan media, tentunya. Selebihnya, mengenaskan. Got-got mampet, pengelolaan sampah yang semrawut (di TPA Benowo), maraknya pengamen liar, hingga becak yang memadati lajur kota dan menyebabkan tradisi macet, ialah pemandangan yang biasa di tubir pinggiran Surabaya.

Atau jika mau sedikit keluar dari Surabaya, niscaya akan ditemukan lebih banyak lagi wajah-wajah kota yang muram tak menyenangkan. Jalan tol Porong-Gempol (Lapindo) tentu menempati posisi pertama untuk personifikasi kota yang demikian ini. Penulis tak dapat membayangkan betapa murkanya Deandels kepada Group Bakrie jika melihat situasi yang mengangkangi teritori selatan Sidoarjo ini. Bayangkan!

Sekadar Tawaran

Tamsil di muka akan menjadi deret panjang tak berkesudahan jika terus dilanjutkan. Sebab itu, mengingat betapa urgennya infrastruktur bagi suatu negara (kota), maka pembenahan secara paripurna pun harus sesegera digalakkan. Ini memang bukan perkara mudah. Mungkin membutuhkan satu generasi untuk mewujudkannya, atau bahkan lebih. Tapi jika dimulai saat ini, kemungkinan akan lahir indikasi baik bagi generasi berikut, bisa lebih diharapkan. Karenanya, tak ada salah jika mau sedikit merenungkan tawaran ini.

Pertama. Seiring denyut desentralisasi via jargon otonomi daerahnya, Pemda mempunyai ruang cukup signifikan untuk berkreasi secara mandiri dalam membenah infrastruktur yang ada. Tentunya dengan melihat kontur masyarakat sekitar. Belum lagi, konon pada rezim SBY ini, tiga tahun terakhir, departemen PU (pekerjaan umum) mendapat kucuran dana yang tidak sedikit (2006= 31 triliun, 2007= 24 triliun, 2008= 34 triliun). Terbanyak, bahkan (Tempo, agustus 2007). Jika dapat dioptimalkan, poin ini akan menjadi dua benang perak yang dapat saling membuahkan karya positif. Dengan kata lain, proyek pembangunan infrastruktur ini sudah dapat modal utama: finansial dan konstitusional.

Kedua. Meracik infrastruktur yang ramah lingkungan. Utamanya yang berhubungan dengan drainase, sanitasi, sumber daya air, transportasi, pemukiman, serta tata ruang hijau terbuka, agar tercipta keseimbangan lingkungan. Ini penting, mengingat Indonesia (atau dunia?) kini tengah menghadapi amukan alam yang mahadahsyat. Pemanasan global dan pengelolaan sampah yang buruk adalah terdakwa yang untuk sementara dikambing-hitamkan. Banjir, longsor, gempa adalah di antara efek logis dari gejala ini. Sebab itu, reboisasi dan forestasi mutlak dibutuhkan demi kelanjutan perihidup kita di muka bumi ini. Jakarta, yang setiap lima tahun sekali kedatangan tamu banjir, mungkin bisa dibuat teladan untuk langkah antisipasi.

Ketiga. Poin ini sebagai penguat dari entri kedua. Yakni menggunakan bahan dasar yang juga ramah lingkungan. Anjuran ini berangkat dari fakta bahwa memang alam semakin ganas, maka kita sebagai penghuni harus sebisa mungkin bersahabat dengannya. Untuk konteks infrastruktur kasar, pengurangan semen mungkin bisa dibuat bahan pertimbangan. Karena, untuk satu ton semen saja, mengeluarkan satu ton karbon. Pabrik semen di dunia menyumbangkan 930 juta ton gas karbon pertahun. Wajar jika Intergovernmental Panel on Climate Change mensinyalir, bahwa semen menempati urutan kedua setelah pembangkit listrik yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca.

Untuk contoh konkritnya, dapat ditengok terobosan F.X. Supartono yang berhasil menemu beton ramah lingkungan. Artinya, idiom ”beton terbaik menggunakan semen sebanyak-banyaknya” itu sudah punah. Sebab, saat ini semen dapat diganti dengan limbah pembakaran batubara (abu terbang) serta limbah mikrosilika. Hasilnya, tidak kalah kuat dengan semen, bahkan jauh melebihinya. Dari segi daya, beton ini mempunyai kekuatan 60 mega pascal –angka ini jauh di atas kategori beton anti gempa, 20 mega pascal. Dari segi penghematan, jelas. Bahkan ada terobosan yang sifatnya mendaur ulang (limbah).

Keempat. Mendayagunakan potensi kota yang ada. Cagar budaya, situs-situs sejarah, obyek pariwisata yang masih terisolasi, semisal. Pasalnya sejarah pembangunan infrastruktur negeri ini membuktikan, pemerintah masih enggan menghargai ikhwal yang demikian. Banyak contoh yang dapat diuraikan, tapi satu mungkin cukup mewakili: Bumi Perkemahan Panyuran, Tuban, yang kodisinya kini begitu tak tersentuh. Padahal, jika mau dilestarikan, ia akan menjadi sumber peruntungan potensial. Baik untuk Pemda maupun masyarakat setempat.

Kelima, terakhir. Infrastruktur yang berbasiskan rakyat subordinat. Ini kurang dapat perhatian dari pemerintah. Lazimnya yang pemerintah tekuni sebatas infrastruktur kaum berpunya saja, tapi lalai pada mereka yang terkucil dan minoritas. Padahal, tidak diperlukan, misalnya, dana besar untuk membangun jembatan peyeberangan. Cukup membuat setopan yang memungkinkan kaum papa, orang tua, peyandang cacat, dan anak-anak menyeberang nyaman tanpa harus mendaki jembatan penyeberangan yang tinggi demi kenyamanan para pemilik mobil. Nah!

Ala kulli hal. Semua tawaran di atas memang mudah dituliskan, tapi sulit dilaksanakan, bukan? Wallahu A’lam.

Epilog

Kami sudah beri kami punya jiwa
Tapi kerja belum selesai
Belum apa-apa


Chairil Anwar 1945

Betapa Rokok Telah Membunuh Kemanusiaan Kita....