Jumat, 15 Mei 2009

Prolog



Refleksi Untuk Indonesia Muda

Jika agustus tiba, memori kita seakan diajak kembali menyelami kilasan sejarah paling menegangkan dan menentukan dalam Buku Catatan Indonesia. Sejarah yang di dalamnya sarat akan telikungan dan perjuangan yang melelahkan. Demi berdirinya suatu negara yang bisa memberi janji kesetaraan, kemerdekaan serta persaingan untuk mampu berdiri tegak di tengah-tengah perhelatan dunia global.

Dan itu semua telah dibayar oleh para founding father’s kita dengan segenap pengorbanan jiwa raga. Mereka telah berhasil menorehkan sejarah gemilang bagi keberlangsungan Nusantara, meski tinta yang digoreskan harus berupa nanah dan darah. Memang, pengorbanan selalu memakan korban, kata Lenin, bapak revolusioner Rusia.

Seperti apa kata hukum alam, sebuah usaha, jika itu memang dilandasi dengan sepenuh tekad dan daya, akan mencecap hasil yang optimal. Hal ini benar-benar menimpa mereka.

Sebab, ternyata peluh yang selama itu bercucuran tidak berbuntut kesia-siaan. Buktinya, kemerdekaan telah direnggut, kedaulatan tinggal menunggu proses (meski terseok-seok), dan gerbang pencerahan sudah terlihat di depan mata, meski secuil.

Tapi sayang, manusia tak pernah bisa menentukan nasib sendiri. Banyak hal ikhwal yang berjalin kelindan yang memaksa manusia untuk berhenti bergerak dan berjuang. Termasuk diantaranya adalah kematian, “makhluk” paling absurd yang selalu menghantui manusia pada setiap detik-detik kehidupan. Dan benar; sebelum menyempurnakan tugasnya manusia telah dulu (dipaksa) menyerah. Termasuk para pendahulu (pahlawan kemerdekaan), yang meninggalkan kita tanpa ada garansi menelorkan regenerasi yang teruji.

Terbukti, ketika Budi Oetomo pada tahun 1908 mendeklarasikan “Kaum Moeda Indonesia”-nya. Ketika Chairil Anwar, Afandi, Sudjojono -dalam dunia kesenian- mengobarkan gelanggang angkatan 45 nya. Juga, Arif Budiman, Putu Wijaya, Budi Darma –via HB. Jassin- mempromosikan “babak pencerahannya”, setelah lama tenggelam dalam kemelut yang tak mendewasakan antara kubu Manikebuis dan Realisne Sosialis.

Dan, penulis dari generasi penyongsong abad 21 ini malu meski hanya untuk sekedar berkata-kata. Apa pasal? Karena generasi yang saya tunggangi saat ini adalah segerombol manusia yang tak mempunyai wajah, identitas dan harga diri. Generasi yang hanya tertarik pada hal pengembungan perut oleh nasi daripada otak dengan pengetahuan dan hati dengan pelita Ilahi. Generasi yang hanya gemar mengunyah segala produk luar tanpa mau menelaahnya secara mendalam. Generasi yang hyper mendewakan sesuatu yang oportunis dan artifisial. Dan sederet lagi predikat yang mengecap pada generasiku yang rapuh, yang hidup pada milenium ke-3 ini.

Mungkin penyebab dari krisis yang menjangkit generasiku ini adalah kemerdekaan. Ya, kemerdekaan yang menjadikan kami buta untuk membedakan mana arti kebebasan dan kebablasan. Antara kebenaran dan kebatilan, juga hak dan tanggung jawab. Kemerdekaan talah direduksi maknanya menjadi kebimbangan dan kebrutalan.

Sebab dengan kemerdekaan kami bisa berbuat apa saja dengan leluasa, tanpa takut teror dan siksa dari penjajah seperti dulu. Karena kemerdekaan pula kami terbuai dalam kondisi yang tak berpengharapan. Menganggap bahwa semua keadaan telah labil dan utuh, sehingga tak perlu ada yang harus dibenah dan diselesaikan. Singkatnya, kami telah alpa dalam mengemban amanat kemerdekaan. Kami menjadi tak peka terhadap situasi sekitar; bahwa sebenarnya kita masih terjajah dalam segala lini kehidupan, terutama mental dan kultural.

Begitu ironisnya nasib yang menggelayut di punggung generasiku yang hidup di iklim kemerdekaan ini. Dulu, sewaktu Indonesia belum memamah kemerdekaan, ia telah berhasil melahirkan orang-orang seperti Bung Karno, Sjahrir dan Hatta. Sekarang?

Spirit tanya itulah yang memicu suplemen di bawah ini tersajikan. Suplemen yang keluar dari nurani anak negeri yang gelisah melihat kedegilan dan ketimpangan sebuah Negara yang didiaminya. Maka, karena sifatnya yang lebih mirip rekam-jejak-penat itulah, suplemen tak hendak berharap banyak. Sebab suplemen ini hanyalah serpihan pikir yang amat dangkal, klise dan tentu sektoral-partikular. Meski demikian penulis masih meyakini ujar Chairil Anwar: lebih baik kalah daripada tak berperang sama sekali! Secuil aksi jauh lebih baik daripada ide luhur yang hanya menggenang di batok kepala yang abstrak.

Selamat menjelajah!

0 komentar: