Jumat, 15 Mei 2009

Hutan: Nyawa dan Surga Indonesia!


Pada suatu kesempatan, budayawan Emha Ainun Nadjib pernah membuat statemen: (Hutan) Indonesia adalah pecahan mozaik surga yang dianugerahkan Tuhan untuk penduduk Nusantara. Ini tentu bukan kembang gula pemikirannya semata, lantaran siapa yang dapat mengingkari bahwa kita punya satu kekayaan yang tak terpermanai harganya: hutan-hutan yang semerbak hijau di hampir seantero Indonesia. Sebagian pakar bahkan meyakini bahwa Indonesia adalah di antara negara yang menjadi poros paru-paru dunia. Sungguh eksotis!

Tapi kenapa, lambat laun fakta anugerah ini sedikit demi sedikit manjadi kabur sebab ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab, termasuk di antaranya tangan negara, yang hendak menjadikan Indonesia, terutama alam hijaunya, hanya sebagai komoditas layak jual semata. Lahan pertanian dipapas untuk dijejali mall-mall dan swalayan, taman-taman yang menghiasi sekujur jalan terpaksa dipangkas demi pelebaran jalan para pengendara bermodal, kakayaan bahari pupus direbut oleh ambisi-ambisi primordial kolektor berdasi, dan kini hutan lindung kita, harta pamungkas kita, juga bakal dijual pemerintah pada taoke-taoke kaya yang jarang hirau pada keselamatan rakyat semesta.

Akibatnya, alam kini mulai mengibarkan bendera perang. Beberapa kali paska Tsunami meletus, bumi Indonesia tak henti-hentinya memberikan lampu peringatan kepada kita. Mulai dari longsor, gempa, banjir bandang, hingga yang termashur tentu pemanasan global. Ini tentu bukan peringatan main-main. Sampai-sampai lembaga seterhormat PBB harus repot-repot membuat hajatan tentang pemanasan global di Bali Desember 2007 lalu, hanya untuk lebih menggemakan bunyi peringatan alam ini. Batapa tidak? Ancaman akan efek pemanasan global kini bukan sekadar pada taraf “siaga” seperti yang diketahui sebagian pihak, melainkan “awas”! Tak kurang, Jay Zwally, seorang ilmuwan iklim dari NASA bahkan memperkirakan es di Arktik akan habis pada musim panas tahun 2012. Yang berarti akan terjadi ledakan mahadestruktif disebabkan lepasnya gas metana dalam jumlah besar yang akan memanggang bumi dan mempercepat cairnya es di Kutub Selatan. Rajendra K. Pachauri, ketua IPPC (Intergovernmental Panel on Climate Change), menambahkan: dua atau tiga tahun ke depan ini menjadi penentu masa depan bumi yang paling kritis. Klise, bukan?
Ini masih dampak yang sifatnya ekologis, belum sektor-sektor lain yang juga tak kalah pentingnya. Ekonomi dan kultural, misalnya. Untuk efek domino negatif yang skalanya ekonomis tak usah lagi disangsikan. Pernyataan ini barangkat dari fakta bahwa 60 % lebih rakyat Indonesia menggantungkan pencahariannya, bahkan eksistensinya, pada keberadaan hutan di sekeliling mereka. Penduduk desa Nebang Para, Sungai Bahar, Muaro Jambi, yang sekarang hidup seperti cacing (di mana tanah hidup, di situ juga mereka bertahan hidup), ialah misal paling jelas dari poin ini. Penduduk yang tergabung dalam komunitas Adat Suku Bathin Sembilan itu lemah lunglai setelah 30 tahun tanah huniannya berubah menjadi kebun sawit yang dimiliki sejumlah perusahaan swasta dan BUMN.
Efek kultural juga tak kalah mengerikan. Ancaman terjadinya disintegritas, chaos, maupun tercerabutnya bianglala nilai-nilai kearifan lokal yang lazim dipunyai oleh masyarakat adat, adalah di antara macamnya. Padahal kabajikan lokal itu banyak yang dapat dijadikan inspirasi bagi pemerintah maupun rakyat yang hendak bersahabat dengan alam. Kearifan lokal masyarakat suku Baduy di Banten semisal. Suku ini begitu sensitif jika sudah bersinggungan dengan tema kelestarian hutan. Hingga ada satu pameo teologis yang mereka pegang erat: gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak (gunung jangan dihancurkan, sawah jangan dihancurkan). Bisakah kita sampai pada taraf kesadaran batin seperti itu?

# # #

Untuk sementara, biang keladi yang dituduh menjadi kambing hitam atas semua bencana segala lini yang mahadahsyat ini tak lain adalah para kapitalis multinasional yang serakah, pemerintah yang lalim dan kesadaran masyarakat yang masih setitik tentang pengetahuan penanganan hutan. Perusahaan-perusahaan besar seperti Newmont, Exxon Mobile, Freeport, yang kesemuanya tak pernah mengindahkan ekosistem alam dalam prosesi kerjanya, bisa ditunjuk sebagai misal yang pertama. Belum lama ini, pemerintah bahkan baru saja mengesahkan PP 08/2008 tentang penyewaan hutan lindung dengan harga yang amat fantastis murahnya: Rp 300 untuk setiap satu meternya. Menurut lansiran beberapa media, PP itu lahir karena desakan dari World Bank dan koleganya, seperti Asian Development Bank serta Japan Bank for International Cooperation. Apapun alasannya, yang demikian cukup untuk menjadi bukti bahwa pemerintah belum becus menelurkan kebijakan yang pro pada kelestarian dan kekayaan hutan.


Ini tentu ironi atau bahkan parodi, ketika pemerintah yang seharusnya mengayomi kesejahteraan rakyat justru menjadi pihak yang memfasilitasi aksi penjarahan massif-implisit tersebut. Massif karena ia berkaitan dengan keselamatan rakyat banyak. Implisit sebab pemerintah dalam mensukseskan proyek ini menggunakan payung hukum dan konstitusi sebagai legalitasnya. Inilah mungkin yang menyebabkan hukum kini kehilangan wibawanya. Sebab memang hukum sekarang hanya menjadi kendaraan penguasa dan kaum kaya (investor luar ataupun dalam negeri) untuk bersama-sama mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Bagaimana tidak? Regulasi yang seharusnya menjadi wadah bagi aspirasi rakyat, utamanya mereka yang papa dan tersubordinat, justru tereduksi fungsinya: mengebiri hajat khalayak benyak demi kepentingan sektoral-partikular –kalau tidak bisa dikatakan kelompok- pemerintah yang ujung positifnya begitu parsial dan masih musykil dibuktikan. Jika demikian, apa gunanya penyebutan ”kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat” yang termaktub dalam bagian pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 itu? Kalimat bijak Abraham Lincoln, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people), juga tentu tidak tercermin sedikit pun pada kasus di atas.


Bercermin dari fakta di muka, pembenahan secara intensif mengenai konsep perhutani harus sesegera digalakkan. Baik itu dari segi hukum (de jure) maupun operasionalnya di lapangan (de facto). Tetapi yang lebih urgen dan fundamen harus diupayakan tentu ikhwal yang berhubungan dengan konstitusional, sebelum nantinya merambah ke hal yang bersifat ekstra. Juga, upaya ini di samping menuntut keterlibatan pemerintah, tak kalah pentingnya partisipasi dari korporasi perhutani dan masyarakat sendiri. Sebab itu, ada beberapa titik solutif yang mungkin dapat digunakan bahan pertimbangan di sini.


Pertama, memperlebar peta tata pikir yang menawarkan varian alternatif. Terkhusus bagi mereka para pejabat yang duduk di kursi yudikatif, eksekutif dan legislatif. Sebab akhir-akhir ini disinyalir banyak dari petinggi negara ini yang hobi berpikir pragmatis,instant dan dikotomis. Menangani kekurangan pangan dengan cara mendatangkan beras impor, adalah di antara bukti dari sesat produk pikir (dangkal?) semacam itu. Bukannya dicari alternatif lain via pendekatan ekologi dan ekoregion akan sumber pangan yang sudah dimiliki masyarakat selain beras, untuk nantinya dikembangkan sebagai langkah antisipasi.

Kedua, perubahan kelembagaan perhutani di pedesaan. Ini erat kaitannya dengan pemulihan ekonomi masyarakat underground yang hidup di bawah berkah hutan maupun pertanian. Dalam hal ini masuk 1) lembaga penguasaan tanah, 2) lembaga hubungan kerja dan 3) lembaga perkreditan. Sayang, untuk poin pertama (kelembagaan tanah), kepemilikan tanah sebagai tonggak utama masyarakat petani kini kondisinya semakin memiriskan. Di Jawa saja rata-rata kepemilikan lahan itu hanya sekitar 0,25 hektar. Penciutan ini di samping karena tergerus oleh keserakahan sektor industri yang lapar lahan, juga karena kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor hutan dan pertanian. Poin kedua, relasi kerja. Ini penting, karena ia terkait langsung dengan penentuan proporsi ekonomis yang akan diperoleh oleh produsen agraria di pedesaan. Yang ketiga, ikhwal perkreditan, formal maupun informal (Bank, Koperasi, dll). Kenyataan yang selama ini kasat mata, lazimnya lembaga perkreditan itu hanya mau berkompromi dengan mereka pekerja agraria yang punya skala besar. Sebaliknya, petani-petani kecil terkucil justru di saat lembaga itu menganga di depan mata.


Ketiga, sedapat mungkin mempersempit intervensi asing yang hendak menancapkan modalnya di sektor perhutani. Kecuali jika itu bersangkutan dengan kerja sama distribusi maupun penelitian. Langkah ini bukan berarti mencerminkan sikap eksklusif, melainkan sekadar kuda-kuda defensif untuk mengantisipasi kemungkinan terserang noe-kolonialisme jenis baru, yang selama ini menemukan kristalisasinya pada negara-negara pemegang kapital. Tentu kita tak ingin mengulang sejarah kelabu di mana pada saat ditetapkannya UU Agraria 1870, Belanda dan Eropa mendapat kesempatan luas berbisnis di perkebunan Indonesia. Sebaliknya, penderitaan hebat dipikul rakyat Bumiputera, lantaran semua keuntungan dimonopoli oleh mereka. Memekikkan!


Keempat, mensosialisasikan sejak dini pada masyarakat akan penanganan hutan (alam) yang proporsional. Lantaran banyak dari masyarakat Indonesia, terutama yang hidup di distrik-distrik pedalaman, tingkat pengetahuannya begitu rendah. Seperti penduduk bukit-bukit Timika di Papua. Pada mulanya mereka tak mengerti apa yang sebenarnya tengah dikerjakan oleh orang-orang asing dengan truk-truk pengeruk raksasa itu. Yang mereka tahu hanya ada lapangan kerja yang sudah menunggu di depan mata. Tapi setelah semua sudah terkuras habis, mereka baru sadar bahwa mereka baru saja dijarah oleh orang-orang ”pusat” nan asing. Hal yang sama banyak terjadi di daerah ”tertinggal” lain.


Terakhir, merekonstruksi kebijakan internal negeri ini sendiri. Sebab meski banyak ditemukan UU yang sepertinya memihak kesejahteraan kaum tani dan stabilitas hutan (pasal 33 UUD 45, misalnya), tetapi dalam praktiknya UU itu tak ubahnya lebah tanpa sengat. Tragedi di selatan pantai Kulon Progo baru-baru ini tentang lahan pasir pertanian rakyat yang sudah lama ditekuni, akan begitu saja dikangkangi oleh para pengusaha dengan izin negara, ialah salah satu pembukti dari mandulnya fungsi pemerintahan kita. Intinya semua regulasi yang tak senada dengan komitmen global akan penanganan stabilitas alam, juga tidak senafas dengan ruh UU 41/1999 tentang kehutanan, harus segera diverifikasi. Upaya ini bukanlah perkara sulit. Mengingat, seperti yang pernah didedah pakar konstituisi, K.C. Wheare; konstitusi adalah resultante, alias hasil kesepakatan. Pembentukannya berdasarkan pada situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya tertentu. Konstitusi adalah produk situasi. Karena itu mesti ada resultante baru jika memang dibutuhkan. Tesis ini juga mengindikasikan bahwa di dunia ini tidak ada konstitusi yang tidak dapat dirubah. Memang, apalah arti sebuah sistem aturan (undang-undang) jika isinya justru membuat rakyat dan alam menangis?


Kapan lagi menunggu kesadaran akan kepedulian hutan bersemi di sanubari kita jika tidak dari sini dan detik ini? Sadangkan waktu dan kondisi sudah tak sudi berkompromi. Karena itu, tak ada salahnya jika sedari kini kita tancapkan keyakinan di palung jiwa: bahwa hutan tak lebih berharga dari NYAWA dan SURGA kita. Dua hal yang pasti akan kita jaga dan kejar mati-matian, bukan? Bagaimana? Wallahu a’lam.



0 komentar: